KISAH KU

Jumat, 05 Desember 2014

TUGAS ESKATOLOGI



KEPERCAYAAN SUANGGI ("MENAK'A") DALAM MASYARAKAT ADONARA
                                                  (VERDINANDES TUAN SABON)


Mendengar kata suanggi saja, setiap orang pasti akan merasa cemas bahkan takut. Apalagi bagi orang  yang pernah mengalami kejadian yang berkaitan erat dengan suanggi. Semua masyarakat rasanya tidak ada yang tidak percaya akan hal yang satu itu. Di berbagai wilayah sebuatan untuk suanggi berbeda satu sama lain. Kepercayaan masyarakat akan adanya suanggi ini lahir sejak purba kala hingga dengan saat ini.

Dalam suatu masyarakat kepercayaan akan Suanggi secara sederhana dipahami sebagai sebuah ilmu hitam yang dipelajari manusia. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam mempelajari jenis ilmu hitam ini yakni manusia ingin memiliki kekuatan melebihi manusia lainnya.  Selain itu, fungsi pengunaan ilmu hitam ini dengan alasan mendasar bahwa orang ingin  membalas iri dengki, dendam dan rasa tidak puas terhadap pribadi tertentu yang tak dapat dibalas secara nyata atau dengan fisik.

Secara kodrat manusia selau tidak percaya akan takdir dan tidak sanggup menerima kenyataan hidupnya, tidak sanggup menerima realita yang ada di depan matanya, sehingga dari situlah manusia mulai mencari jalan lain untuk memperoleh satu kekuatan baru dengan jalan mepelajari dan mempraktekkan ilmu-ilmu hitam dalam satu masyarakat.

KEPERCAYAAN SUANGGI ("MENAK'A") DALAM MASYARAKAT ADONARA.
 Nama Suanggi dalam Masyarakat Adonara
            Dalam masyarakat Adonara pada umumnya, kepercayaan akan adanya suanggi sudah ada sejak nenek moyang atau para leluhur yang pertama kali mendiami wilayah Adonara. Masyarakat Adonara memiliki sebutan yang khas untuk suanggi yang dapat membedakan penamaan atas suanggi dari daerah-daerah yang lain. Kata Suanggi dalam bahasa Lamaholot terkhususnya Adonara disebut sebagai “MENAK’A”.[1]

  Asal Usul Suanggi dalam Masyarakat Adonara

Seperti yang telah dituturkan di atas bahwa suanggi itu ada dalam masyarakat Adonara. Pada zaman dahulu suanggi (“menak’a”), sangatlah berguna bagi masyarakat. Tanpa mereka, sebuah desa atau kampung akan goyah dan rapuh, dan mudh mendapat masalah. Dalam istilah atau bahasa Lamaholot disebut, “rae take, lewotana mege hala, lewotana mege heri, karna rae”.[2]
Dalam system social masyarakat Adonara  ada tujuh (7) struktur atau lapisan dalam sebuah masyarkt yang disebut dalam bahasa adat Lamaholot “eken matan pito” (posisi ke tujuh). Menurut sejarah, sebelum genrasi (masyarakat) ada, terjadi perang tanding antar kampong. Dalam situasi inilah tugas dari suanggi (“menak’a”), sebagai alat pembawa informasi, atau mata-mata (detektiv), menak’a inilah orang pertama yang menghadapi serangan dari luar, ataupun sebagai pemberi informsi dari luar untuk masyarakat di kampungnya agar selalu siaga, sebab musuh hendak menyerang kampung. Selain itu juga suanggi (menak'a/lewo tanah kutun ketumha) juga berfungsi sebagai "alarm" bagi masyarakat setempat (“ribuh-ratuh”) di suatu kampung (Lewo). Artinya bahwa alaram itu sebagai tanda bagi masyarakat setempat jika pada malam hari si suanggi datang dan bersuara. Itu merupakan sebuah suruhan atau tanda untuk mengingatkan orang akan sesuatu yang mungkin akan terjadi. Tanda itu selalu dipandang dan dimengerti sebagai sesuatu yang baik dan bukan menakutkan[3].
Dewasa inilah masyarakat mencap bahwa suanggi “menak’a” itu sangat berbahaya dalam satu tatanan social masyarakat. Istilah/kata "menak'a" menimbulkan stigma yang negatif bagi masyarakat. Stigma ini muncul ketika apa yang mereka miliki itu disalahgunakan untuk menyusahkan orang lain. Kemudian Stigma itupun semakin sulit dibendung, dan terus merasuki pikiran dan otak kerja masyarakat di kmpung, sebab realitas membenarkan bahwa  suanggi (“menak'a”) menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan meresahkan situasi social.
Latar belakang timbul atau munculnya Suanggi (“menak’a”) dalam satu tatanana social masyarakat lebih banyak disebabkan oleh adanya rasa iri hati kepada sesama di sekitarnya. Lebih dari orang yang dicap sebagai suanggi yang telah mempelajari ilmu hitam tersebut hendak mencoba kekuatan ilmunya dengan objek sasarannya adalah pribadi tertentu. Rasa iri hati meliputi rasa dendam dengan orang lain, merasa tidak puas akan sesuatu yang dibuat atau diperoleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari dan lain sebagainya. Karena itu orang mulai mempelajari ilmu hitam untuk menambah kekuatan baru dalam dirinya dan kembali melawan orang yang dianggap sebagai musuhnya.
Dalam masyarakat Adonara ada banyak sekali tuduhan terhadap orang sebagai suanggi/menak’a. sehingga banyak pula yang menjadi korban dari suanggi itu. Hingga dengan saat ini, banyak orang yang merasa bahwa usaha-usaha dalam keluaraga itu tidak berhasil dan selalu ada halangan, ataupun banyak orang yang sakit tetapi tidak dapat disembuhkan secara medis, disinilah mulai muncul stigma bahwa suanggilah yang bekerja. Ada iri hati dari orang-orang tertentu. Di desa saya desa Nimun Danibao kecamatan Adonara Barat pernah terjadi satu peristiwa besar akibat dari tuduhan orang akan suanggi kepada pribadi tertentu.

Salah satu contoh yang saya angkat di sini adalah berdasarkan harian flores pos tertanggal Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).
TUDUHAN SUANGGI KEMBALI MAKAN KORBAN.[4]
Kali ini terjadi di Adonara, Kabupaten Flores Timur. Dua rumah hancur dirusak massa. Penghuni yang dituduh suanggi tinggalkan Adonara.
Korban tuduhan suanggi adalah Dominggus Libu Kleden (66) dan Kamilus Ketan Lier Kleden, warga RT 6/RW 12, Dusun Watodei, Kecamatan Adonara Barat. Rumah keduanya dirusak massa hingga rata tanah pada Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).  Warga Dusun Watodei menuding korban sebagai suanggi yang menyebabkan anak mereka meninggal dunia. Karena itu mereka membakar dan mengusir korban yang sudah bermukim puluhan tahun di desa tersebut. Dominggus Libu Kleden saat ditemui di rumah keluarganya di Kelurahan Lewerang, Kecamatan Larantuka, Selasa (4/1/2011),  menuturkan kronologis kejadian itu. Menurut dia, pada Rabu (29/12/2010), menantunya Florentina Perada yang juga kader posyandu  diminta salah satu keluarga di desa itu untuk  menyembuhkan seorang balita menggunakan jampi-jampi. Dia melarang karena menantunya bukan dukun. Namun keluarga itu terus memaksa untuk menyembuhkan balita itu. Sehari kemudian, balita yang diduga menderita gizi buruk tersebut meninggal dunia. Karena balita itu meninggal, Kamis (30/12/2010), beberapa anggota keluarga balita itu langsung datang ke rumah Keleden dan marah-marah. "Mereka mengatakan kami menggunakan ilmu hitam sehingga anak mereka meninggal.
Berdasarkan kasus tersebut dapat saya simpulkan bahwa dalam masyarakat Adonara  ada kenyataan praktek ilmu hitam yang terwujud dalam diri suanggi serta adanya korban atau penderita yang disebabkan oleh perbuatan suanggi.



III.             AJARAN IMAN KRISTEN TENTANG SUANGGI
Dalam ajaran iman Kristen terkhususnya dalam terang Kitab Suci tidak dijelaskan akan adanya suanggi dalam system keprcayaan Kristen. Secara umum umat Kristen mengakui adanya suanggi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi wujud nyata akan suanggi itu tidak dapat dibuktikan secara kasat mata. Dalam Kitab Suci kata sunggi itu sendiri tidak ditemukan secara pasti. Kitab Suci hanya mengatakan bahwa adanya roh-roh jahat yang selalu menggerogoti hati manusia. Roh jahat yang dikenal dalam Kitab Suci biasa disebut dengan nama Belzebul atau juga Iblis. Banyak teks Kitab Suci yang menjelaskan adanya roh-roh jahat itu seperti dalam kisah Yesus dicobai oleh iblis di padang gurung (Mat. 4:1-11, Mark. 1:12-13, Luk. 4:1-13). Yesus dan Beelzebul (Mat. 12: 22-37, Mark. 3:20-30, Luk. 11: 14-23, 6: 43-45), Kisah tentang “Kembalinya Roh Jahat” (Mat. 12: 43-26, Luk. 11: 24-26)



[1] Markus Sabon, Ketua Suku Sabon, Wawancara lewat telefon, 08 November 2014.
[2]Niko Lamatokan, Diskusi tentang Suanggi Dalam Masyarakat Adonara (ONLINE), (https://www.facebook.com/groups/pemudaadonarabangkit, diakses 10 November 2014).
[3] Ibid.
[4] http://kupang.tribunnews.com/2011/01/05/suanggi-kembali-makan-korban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar