PERSELINGKUAHAN SEBAGAI AKTUS PENCEMARAN KEMURNIAN PERKAWINAN KRISTIANI
(Perselingkuhan Kacamata Penilaian
Moral Kristiani)
"VERDINANDES TUAN SABON"
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
pesat di zaman ini turut memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan
manusia. Kemajuan yang pesat dalam pelbagai bidang kehidupan perlu mendapat
apresiasi yang tinggi dari kita, tetapi di sisi lain dari kemajuan itu ada juga
membawa aneka persoalan dalam kehidupan manusia. Semakin marak dan kompleksnya
permasalahan moral dalam kehidupan sosial termasuk di dalamnya persoalan
mengenai perselingkuhan yang merupakan
bagian dari sebuah pelecehan terhadap kemurnian perkawinan.
Ketika
kita sedang berjuang untuk menjadi makhluk yang semakin manusiawi, muncullah
berbagai kasus yang menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dalam tatanan
kehidupan manusia. Memang dewasa ini tema perselingkuhan sering kita dengar dan bicarakan di mana-mana.
Media masa dan surat kabar lainnya menjadi sarana utama yang membahas kasus
perselingkuhan ini.
Harian Floresa.com telah memuat warta tentang sebuah
kasus yang tengah terjadi dalam kehidupan harian kita. Isi ringkas dari kasus
tersebut adalah sebagai berikut (Borong, Floresa.co – Kepala Desa (Kades) Bea Waek,
Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur diketahui
menghamili istri orang. Kades nakal berinisial YR ini, sebelumnya melakukan
yang sama pada 2012 dan 2013 lalu).
Persoalan ini bukan mustahil terjadi tetapi
telah nyata di mata kita dan masih banyak persoalan yang terselubung dan
menyelubungkan diri. Persoalan ini pun seakan tak berujung. Penilaian terhadap persoalan
tersebut tidak dapat dibangun begitu saja, terpisah dari sudut pandang tertentu
, karena kasus perselingkuhan bertalian
dengan identitas sebuah perkawinan Kristiani, maka membaca kasus tersebut dari
perspektif moral perkawinan Kristiani adalah salah satu alternatif yang paling
mungkin dan bisa ditempuh.
Selain
merupakan makhluk seksual dan sosial, manusia juga adalah makhluk beriman dan
bermoral. Dalam diri setiap manusia bercokol kerinduan yang dalam akan realitas
tertinggi. Ada dambaan metafisis terhadap Yang “Tremendum et fascinans”
(menggemparkan dan menarik) yang coba difasilitasi agama-agama. Setiap agama
coba berbicara tentang siapa manusia itu, dari mana ia berasal dan ke mana
muara kelana hidupnya serta bagaimana semestinya ia menghayati hidupnya sebagai
makhluk ciptaan. Dalam agama Katolik, manusia tak lain adalah imago
Dei (bdk. Kej 1:27). Manusia adalah ciptaan yang telah
didandani Allah dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam setiap dimensi
dirinya. Dan manusia bertanggungjawab atas dandanan Allah itu. Namun, Sang
Pencipta tak lupa melengkapi manusia dengan hasrat akan kebebasan dan kemampuan
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Terhadapnya manusia menjadi
subjek dan objek moral.
Demi
menjaga keseimbangan penilaian terhadap masalah tersebut, dalam tulisan ini
saya coba mengangkatnya dari perspektif moral perkawinan untuk diteropong
dengan kaca mata moral Kristiani
II.
MELIHAT PERSOALAN PERSELINGKUHAN
Semenjak jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi sangat
sulit mempertahankan kesetiaan. Maka, tidak ada satu pun pernikahan di bumi ini
yang kebal terhadap perselingkuhan. Berbicara tentang perselingkuhan, kita
selalu saja sampai pada sebuah pertanyaan yang mendasar. Mengapa orang terjatuh
dalam perselingkuhan? Ada banyak pembenaran. Tapi intinya satu: ketidakmampuan
untuk mensyukuri apa yang dimiliki sehingga merasa ada yang kurang dalam
perkawinan mereka. Karena merasa ada yang kurang atau berlubang, maka mereka
selalu berusaha untuk memenuhinya atau menambalnya. Dan cara untuk mengisi
kekosongan tersebuat adalah mencari pihak dari luar, dari orang ketiga, dari
wanita/pria idaman lain.[1]
Perselingkuhan merupakan hubungan antara individu baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang
bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat
berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga
untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam perkawinan.[2] Perselingkuhan bisa juga disebut sebagai berzinah ketika
seorang suami atau istri melanggar janji perkawinan yang telah mereka ucapkan
di hadapan Tuhan untuk saling setia satu sama lain dalam suka dan duka, dalam
untug dan malang. Janji itu dilanggar dengan melakukan tindakan persetubuhan,
yang artinya pemberian tubuh dan diri pribadi yang total bukan lagi kepada
pasangan resminya, melainkan pada pihak ketiga di luar ikatan perkawinan itu
sendiri yang tak terpisahkan dan tak terceraikan.[3]
Perselingkuhan selalu saja dikaitan dengan perzinaan.
Perzinaan merupakan hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, di
mana paling kurang satu dari mereka telah menikah.[4]
Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru mengecam dosa perselingkuhan dengan
kata-kata yang sangat pedas, dalam dekalog Allah melarang umat-Nya: ”Janganlah
berzina, jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya” (bdk.
Kel 20: 17). Bagi Paulus perzinaan adalah satu dosa yang memisahkan pelaku dari
Kerajaan Allah (1Kor. 6:9; juga Ibr. 13:4)[5]
Kasus perselingkuhan yang disajikan dalam Harian Floresa.com merupakan
sebuah kasus pelanggaran terhadap ikatan janji suci perkawinan antara pasangan
suami istri yang telah menikah. Artinya bahwa sang suami (Kepala Desa)
telah menodahi atau mencemari perkawinan
dengan sang istrinya. Pada hakekatnya, kesetian itu sendiri adalah sebuah
kebajikan yang membuat pribadi teguh memegang kata-kata dan janjinya, dan tidak
mengecewakan orang lain dalam harapan-harapan yang sah, ciri terpenting dari
kesetian adalah bahwa seorang pribadi dapat diandalkan dan dipercayai dalam
perkataan dan tindakan.[6] Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa suami dalam kasus perselingkuhan tersebut telah
mebuat skandal besar dalam rumah tangganya. Kesetian janji nikah yang telah
terpatri dalam hidup mereka sebagai suami istri yang sah telah kehilangan
kemurnian dan martabatnya di hadapan Allah dan sesama.
III.
Penilaian terhadap Peselingkuhan dalam Kacamata Etika Kekristenan
Dalam bagian ini kita coba melihat persoalan perselingkuhan
dalam kasus tersebut dalam kacamata
etika kekristenan, tentang apa saja pertimbangan-pertimbangan moral kekristenan
mengenai persoalan perselingkuhan ini dalam kehidupan dan perkembangan moral anggota gereja terutama sebagai
tuntunan bagi keluarga Kristen dewasa ini
3.1 Bertentangan dengan Perjanjian Cinta
Perselingkuhan pada dasarnya bertentangan dengan
perjanjian cinta yang dihayati oleh gereja. Kita dapat mengatakan bahwa secara
objektif perselingkuhan
merupakan suatu bentuk penyimpangan serius yang sungguh bertentangan dengan
pandangan manusiawi dan kristiani tentang cinta dan hakikat perkawinan
Kristiani yang sesungguhnya. Sebab
dengan adanya perselingkuhan seorang suami/istri membangun hubungan
seksual dengan orang lain
Suatu perjanjian
cinta antara kedua insan yang saling mencintai satu sama lain, memberi cinta
dari dalam dirinya kepada pasangannya itu dengan penuh kesadaran dan
bertanggung jawab atas pemberian cinta itu. Hal ini tentu saja berbeda jauh
dengan perselingkuhan itu
sendiri yang menjadikan orang atau pribadi untuk bertindak dan bersikap
egosentris, cinta pada dirinya sendiri dan tidak mencintai dan membutuhkan pilihan hatinya,
sehingga membuatnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar janji
perkawinannya.
Katekismus Gereja Katolik juga berbicara keras tentang
persoalan perselingkuhan dalam kehidupan Kristiani. Katekismus menilai bahwa
perselingkuhan sebagai suatu ketidaksetiaan antara suami istri dan sebagai satu
praktek ketidakadilan dengan merujuk selalu pada ajaran Kitab Suci. [7]
Kasus perselingkuhan yang tengah terjadi itu dapat dinilai dari segi Etika
Kristiani bahwa salah satu pasangan yakni suami telah menodai perjanjian cinta
mereka. Ia juga menodai hak pribadi dari pihak lain yang menikah dengannya an
telah merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian yang
adalah dasar bagi cinta dan persekutuan hidup keluarganya.
3.2 Melawan Kodrat yang Sesungguhnya
Tubuh manusia itu nupsial, karena dia tercipta
untuk mengasihi, dan untuk sebuah relasi yang tetap. Dia bukannya tercipta
hanya untuk kesenangan sensual, karena sesungguhnya ada yang lebih dari sekedar
sensual sebab tubuh manusia bersifat simbolis dan semua yang dilakukan juga
membawa dimensi spiritual sekaligus. Dalam dan melalui tubuh seseorang
mengungkapkan cinta – realitas spiritualnya yang terdalam. Sehingga oleh karena
tubuh manusia itu nupsial maka ketika seorang suami dan istri melakukan
aktifitas seksual, mereka juga berkomunikasi tentang aspek yang kelihatan dan
yang tak kelihatan dari tubuh mereka masing-masing.[8]
Sedangkan sebuah perselingkuhan tidaklah demikian. Perselingkuhan cuma menampilkan manusia yang hanya mengikuti naluri seks belaka yang
disalurkan secara tidak sehat tanpa bisa menampilkan bahasa spiritual. Perselingkuhan tidak menampilkan bahasa cinta melainkan
egoisme belaka saja. Bahasa cinta hanya dapat terjadi antara pribadi dengan
pribadi, antara suami dan isteri yang dapat mengungkapkannya baik secara
sensual dan spiritual.
Hidup bersama
sebagai suami istri pada dasarnya merupakan sebuah tuntutan kodrat manusia. Hal
ini merupakan kenyataan spiritual. Setiap manusia hanya mungkin dapat
mewujudkan kepenuhan pribadinya dalam relasi yang intim dengan pribadi yang
lain. Dalam aspek ini manusia membutuhkan yang lain seorang partner, seorang
“engkau”, ke mana ia akan mengarahkan dirinya, ke mana ia akan member cinta, da
sebaliknya juga, dari mana ia dapat memperoleh cinta. Di sini termasuk
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai secara pribadi, dan membentuk hidup perkawinan.[9]
Perselingkuhan pada dasarnya melawan kodrat perkawinan manusia. Artinya bahwa
perselingkuhan itu terjadi karena adanya cinta diri dan tidak mencintai
pasangan hidupnya. Manusia membutukan yang lain dan menomor duakan pasangannya.
Ia mencari kepuasan seksual di luar hidup perkawinannya dengan melakuakan
persinaan dengan orang lain yang bukan pasangan hidupnya.
.
3.3 Peselingkuhan
adalah dosa[10]
Kita dapat menyebut beberapa alasan mengapa
perselingkuhan atau perzinahan adalah dosa karena perbuatan ini melanggar
kesucian ikatan perkawinan dan makna luhur hubungan seksual antara seorang pria
dan wanita. Perselingkuhan dikatakan dosa, karena:
Ø
Merupakan perbuatan ketidak-setiaan. Perkawinan Katolik dimaksudkan Allah
untuk menjadi tanda yang mencerminkan kasih setia Allah kepada umat-Nya
(selanjutnya tentang ini, klik di sini); sehingga pelanggaran terhadap kasih
setia ini disamakan oleh Tuhan sebagai tindakan ‘berhala’, seperti ketika pada
zaman Perjanjian Lama umat Israel berkali- kali melanggar perjanjian dengan
Allah dengan menyembah dewa/ allah-allah lain. “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu
percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama
dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah…” (Kol 3:5-6)
Ø
Merupakan perbuatan yang melanggar
kesucian dan keluhuran hubungan seksual suami istri, yang harusnya melambangkan
kesatuan antara Kristus dan mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya (jemaat-Nya).“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi
yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32, lih. Mat
19:5-6)
Ø
Merupakan perbuatan ketidak- adilan; sebab
keadilan mensyaratkan pembagian sesuatu kepada pihak- pihak yang bersangkutan
sesuai dengan haknya.
Perzinahan melawan prinsip keadilan ini, sebab hubungan dilakukan oleh pasangan
yang tidak berhak melakukannya. Selanjutnya, efeknyapun dapat membawa
kehancuran dalam keluarga, yaitu pasangan yang dikhianati, dan anak- anaknya.
Tidak ada seorangpun dari kita yang ingin dikhianati, sebab itu bertentangan
dengan prinsip kasih dan keadilan, yang mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Mat 7:12)
IV.
Akhir Kata
Peselingkuhan
dalam keluarga Kristen mengalami perkembangan seturut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini. Perselingkuhan
pada hakikatnya adalah sebuah tindakan melawan kodrat perkawinan manusia dalam
kehidupan sosal dan menggereja. Dampak dari perselingkuhan itu sendiri adalah
runtuhnya/hilangnya keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Hilangnya
kepercayaan dan janji suci yang telah diikrarkan oleh pasangan suami istri.
Dasar
dan jaminan utama bagi kelangsungan hidup bersama sebagai suami istri adalah
cinta. Setiap tindakan, pergaulan, hak dan kewajiban dalam hidup perkawinan
haruslah merupakan cetusan cinta, diresapi cinta dan bertujuan mengembangkan
cinta itu sendiri dalam kehidupan perkawinan suami istri.
[1] http://www.ebahana.com/warta-1521-Merusak-Tapi-Dapat-Dipulihkan.html,
diakses 10 Noveber 2014
[2] Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Perselingkuhan,
diaskes 10 November 2014
[3] Paskalis
Lina, SVD, Moral Pribadi (ms), STFK
Ledalero, 2010.
[4]
Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani
Jilid III Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 300-301.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 215-216.
[7] Paskalis
Lina, SVD, op. cit.,
[8]
Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku
Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. (Yogyakarta: Kanisius. 2009),
pp. 56-57.
[9]
Dr. C. Maas SVD, Teologi Moral Perkawinan,
(STFK Ledalero, 1997), hlm. 78
[10] Paskalis
Lina, SVD, Teologi Moral Pribadi (ms), STFK
Ledalero, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar