KISAH KU

Jumat, 05 Desember 2014

PAPER MORAL PRIBADI

PERSELINGKUAHAN SEBAGAI  AKTUS  PENCEMARAN  KEMURNIAN PERKAWINAN KRISTIANI
(Perselingkuhan Kacamata Penilaian Moral Kristiani)
"VERDINANDES TUAN SABON"
I.                   PENDAHULUAN
Perkembangan pesat di zaman ini turut memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan manusia. Kemajuan yang pesat dalam pelbagai bidang kehidupan perlu mendapat apresiasi yang tinggi dari kita, tetapi di sisi lain dari kemajuan itu ada juga membawa aneka persoalan dalam kehidupan manusia. Semakin marak dan kompleksnya permasalahan moral dalam kehidupan sosial termasuk di dalamnya persoalan mengenai perselingkuhan yang merupakan bagian dari sebuah pelecehan terhadap kemurnian perkawinan.
Ketika kita sedang berjuang untuk menjadi makhluk yang semakin manusiawi, muncullah berbagai kasus yang menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dalam tatanan kehidupan manusia. Memang dewasa ini tema perselingkuhan  sering kita dengar dan bicarakan di mana-mana. Media masa dan surat kabar lainnya menjadi sarana utama yang membahas kasus perselingkuhan ini.
Harian Floresa.com  telah memuat warta tentang sebuah kasus yang tengah terjadi dalam kehidupan harian kita. Isi ringkas dari kasus tersebut adalah sebagai berikut (Borong, Floresa.co – Kepala Desa (Kades) Bea Waek, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur diketahui menghamili istri orang. Kades nakal berinisial YR ini, sebelumnya melakukan yang sama pada 2012 dan 2013 lalu). Persoalan ini  bukan mustahil terjadi tetapi telah nyata di mata kita dan masih banyak persoalan yang terselubung dan menyelubungkan diri. Persoalan ini pun seakan tak berujung. Penilaian terhadap persoalan tersebut tidak dapat dibangun begitu saja, terpisah dari sudut pandang tertentu , karena kasus perselingkuhan  bertalian dengan identitas sebuah perkawinan Kristiani, maka membaca kasus tersebut dari perspektif moral perkawinan Kristiani  adalah salah satu alternatif yang paling mungkin dan bisa ditempuh.

Selain merupakan makhluk seksual dan sosial, manusia juga adalah makhluk beriman dan bermoral. Dalam diri setiap manusia bercokol kerinduan yang dalam akan realitas tertinggi. Ada dambaan metafisis terhadap Yang “Tremendum et fascinans” (menggemparkan dan menarik) yang coba difasilitasi agama-agama. Setiap agama coba berbicara tentang siapa manusia itu, dari mana ia berasal dan ke mana muara kelana hidupnya serta bagaimana semestinya ia menghayati hidupnya sebagai makhluk ciptaan. Dalam agama Katolik, manusia tak lain adalah imago Dei (bdk. Kej 1:27). Manusia adalah ciptaan yang telah didandani Allah dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam setiap dimensi dirinya. Dan manusia bertanggungjawab atas dandanan Allah itu. Namun, Sang Pencipta tak lupa melengkapi manusia dengan hasrat akan kebebasan dan kemampuan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Terhadapnya manusia menjadi subjek  dan objek moral.
Demi menjaga keseimbangan penilaian terhadap masalah tersebut, dalam tulisan ini saya coba mengangkatnya dari perspektif moral perkawinan untuk diteropong dengan kaca mata moral Kristiani
II.                MELIHAT PERSOALAN PERSELINGKUHAN
Semenjak jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi sangat sulit mempertahankan kesetiaan. Maka, tidak ada satu pun pernikahan di bumi ini yang kebal terhadap perselingkuhan. Berbicara tentang perselingkuhan, kita selalu saja sampai pada sebuah pertanyaan yang mendasar. Mengapa orang terjatuh dalam perselingkuhan? Ada banyak pembenaran. Tapi intinya satu: ketidakmampuan untuk mensyukuri apa yang dimiliki sehingga merasa ada yang kurang dalam perkawinan mereka. Karena merasa ada yang kurang atau berlubang, maka mereka selalu berusaha untuk memenuhinya atau menambalnya. Dan cara untuk mengisi kekosongan tersebuat adalah mencari pihak dari luar, dari orang ketiga, dari wanita/pria idaman lain.[1]
Perselingkuhan merupakan hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam perkawinan.[2] Perselingkuhan bisa juga disebut sebagai berzinah ketika seorang suami atau istri melanggar janji perkawinan yang telah mereka ucapkan di hadapan Tuhan untuk saling setia satu sama lain dalam suka dan duka, dalam untug dan malang. Janji itu dilanggar dengan melakukan tindakan persetubuhan, yang artinya pemberian tubuh dan diri pribadi yang total bukan lagi kepada pasangan resminya, melainkan pada pihak ketiga di luar ikatan perkawinan itu sendiri yang tak terpisahkan dan tak terceraikan.[3]
Perselingkuhan selalu saja dikaitan dengan perzinaan. Perzinaan merupakan hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, di mana paling kurang satu dari mereka telah menikah.[4] Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru mengecam dosa perselingkuhan dengan kata-kata yang sangat pedas, dalam dekalog Allah melarang umat-Nya: ”Janganlah berzina, jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya” (bdk. Kel 20: 17). Bagi Paulus perzinaan adalah satu dosa yang memisahkan pelaku dari Kerajaan Allah (1Kor. 6:9; juga Ibr. 13:4)[5]
Kasus perselingkuhan yang disajikan dalam Harian Floresa.com  merupakan sebuah kasus pelanggaran terhadap ikatan janji suci perkawinan antara pasangan suami istri yang telah menikah. Artinya bahwa sang suami (Kepala Desa) telah  menodahi atau mencemari perkawinan dengan sang istrinya. Pada hakekatnya, kesetian itu sendiri adalah sebuah kebajikan yang membuat pribadi teguh memegang kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapan yang sah, ciri terpenting dari kesetian adalah bahwa seorang pribadi dapat diandalkan dan dipercayai dalam perkataan dan tindakan.[6] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suami dalam kasus perselingkuhan tersebut telah mebuat skandal besar dalam rumah tangganya. Kesetian janji nikah yang telah terpatri dalam hidup mereka sebagai suami istri yang sah telah kehilangan kemurnian dan martabatnya di hadapan Allah dan sesama.

III.             Penilaian terhadap Peselingkuhan dalam Kacamata Etika Kekristenan
Dalam bagian ini kita coba melihat persoalan perselingkuhan dalam kasus tersebut dalam kacamata etika kekristenan, tentang apa saja pertimbangan-pertimbangan moral kekristenan mengenai persoalan perselingkuhan ini dalam kehidupan dan perkembangan moral anggota gereja terutama sebagai tuntunan bagi keluarga Kristen dewasa ini
3.1 Bertentangan dengan Perjanjian Cinta
Perselingkuhan pada dasarnya bertentangan dengan perjanjian cinta yang dihayati oleh gereja. Kita dapat mengatakan bahwa secara objektif perselingkuhan merupakan suatu bentuk penyimpangan serius yang sungguh bertentangan dengan pandangan manusiawi dan kristiani tentang cinta dan hakikat perkawinan Kristiani yang sesungguhnya. Sebab dengan adanya perselingkuhan seorang suami/istri membangun hubungan seksual dengan orang lain
Suatu perjanjian cinta antara kedua insan yang saling mencintai satu sama lain, memberi cinta dari dalam dirinya kepada pasangannya itu dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab atas pemberian cinta itu. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan perselingkuhan itu sendiri yang menjadikan orang atau pribadi untuk bertindak dan bersikap egosentris, cinta pada dirinya sendiri dan tidak mencintai dan membutuhkan pilihan hatinya, sehingga membuatnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar janji perkawinannya.
Katekismus Gereja Katolik juga berbicara keras tentang persoalan perselingkuhan dalam kehidupan Kristiani. Katekismus menilai bahwa perselingkuhan sebagai suatu ketidaksetiaan antara suami istri dan sebagai satu praktek ketidakadilan dengan merujuk selalu pada ajaran Kitab Suci. [7] Kasus perselingkuhan yang tengah terjadi itu dapat dinilai dari segi Etika Kristiani bahwa salah satu pasangan yakni suami telah menodai perjanjian cinta mereka. Ia juga menodai hak pribadi dari pihak lain yang menikah dengannya an telah merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian yang adalah dasar bagi cinta dan persekutuan hidup keluarganya.


3.2    Melawan Kodrat yang Sesungguhnya
Tubuh manusia itu nupsial, karena dia tercipta untuk mengasihi, dan untuk sebuah relasi yang tetap. Dia bukannya tercipta hanya untuk kesenangan sensual, karena sesungguhnya ada yang lebih dari sekedar sensual sebab tubuh manusia bersifat simbolis dan semua yang dilakukan juga membawa dimensi spiritual sekaligus. Dalam dan melalui tubuh seseorang mengungkapkan cinta – realitas spiritualnya yang terdalam. Sehingga oleh karena tubuh manusia itu nupsial maka ketika seorang suami dan istri melakukan aktifitas seksual, mereka juga berkomunikasi tentang aspek yang kelihatan dan yang tak kelihatan dari tubuh mereka masing-masing.[8] Sedangkan sebuah perselingkuhan tidaklah demikian. Perselingkuhan cuma menampilkan manusia yang hanya mengikuti naluri seks belaka yang disalurkan secara tidak sehat tanpa bisa menampilkan bahasa spiritual. Perselingkuhan tidak menampilkan bahasa cinta melainkan egoisme belaka saja. Bahasa cinta hanya dapat terjadi antara pribadi dengan pribadi, antara suami dan isteri yang dapat mengungkapkannya baik secara sensual dan spiritual.
Hidup bersama sebagai suami istri pada dasarnya merupakan sebuah tuntutan kodrat manusia. Hal ini merupakan kenyataan spiritual. Setiap manusia hanya mungkin dapat mewujudkan kepenuhan pribadinya dalam relasi yang intim dengan pribadi yang lain. Dalam aspek ini manusia membutuhkan yang lain seorang partner, seorang “engkau”, ke mana ia akan mengarahkan dirinya, ke mana ia akan member cinta, da sebaliknya juga, dari mana ia dapat memperoleh cinta. Di sini termasuk kebutuhan untuk mencintai dan dicintai secara pribadi, dan membentuk hidup perkawinan.[9] Perselingkuhan pada dasarnya melawan kodrat perkawinan manusia. Artinya bahwa perselingkuhan itu terjadi karena adanya cinta diri dan tidak mencintai pasangan hidupnya. Manusia membutukan yang lain dan menomor duakan pasangannya. Ia mencari kepuasan seksual di luar hidup perkawinannya dengan melakuakan persinaan dengan orang lain yang bukan pasangan hidupnya.

.
3.3    Peselingkuhan adalah dosa[10]
Kita dapat menyebut beberapa alasan mengapa perselingkuhan atau perzinahan adalah dosa karena perbuatan ini melanggar kesucian ikatan perkawinan dan makna luhur hubungan seksual antara seorang pria dan wanita. Perselingkuhan dikatakan dosa, karena:
Ø    Merupakan perbuatan ketidak-setiaan. Perkawinan Katolik dimaksudkan Allah untuk menjadi tanda yang mencerminkan kasih setia Allah kepada umat-Nya (selanjutnya tentang ini, klik di sini); sehingga pelanggaran terhadap kasih setia ini disamakan oleh Tuhan sebagai tindakan ‘berhala’, seperti ketika pada zaman Perjanjian Lama umat Israel berkali- kali melanggar perjanjian dengan Allah dengan menyembah dewa/ allah-allah lain. “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah…” (Kol 3:5-6)
Ø    Merupakan perbuatan yang melanggar kesucian dan keluhuran hubungan seksual suami istri, yang harusnya melambangkan kesatuan antara Kristus dan mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya (jemaat-Nya).Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32, lih. Mat 19:5-6)
Ø    Merupakan perbuatan ketidak- adilan; sebab keadilan mensyaratkan pembagian sesuatu kepada pihak- pihak yang bersangkutan sesuai dengan haknya. Perzinahan melawan prinsip keadilan ini, sebab hubungan dilakukan oleh pasangan yang tidak berhak melakukannya. Selanjutnya, efeknyapun dapat membawa kehancuran dalam keluarga, yaitu pasangan yang dikhianati, dan anak- anaknya. Tidak ada seorangpun dari kita yang ingin dikhianati, sebab itu bertentangan dengan prinsip kasih dan keadilan, yang mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Mat 7:12)



IV.    Akhir Kata
            Peselingkuhan dalam keluarga Kristen mengalami perkembangan seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Perselingkuhan pada hakikatnya adalah sebuah tindakan melawan kodrat perkawinan manusia dalam kehidupan sosal dan menggereja. Dampak dari perselingkuhan itu sendiri adalah runtuhnya/hilangnya keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Hilangnya kepercayaan dan janji suci yang telah diikrarkan oleh pasangan suami istri.
            Dasar dan jaminan utama bagi kelangsungan hidup bersama sebagai suami istri adalah cinta. Setiap tindakan, pergaulan, hak dan kewajiban dalam hidup perkawinan haruslah merupakan cetusan cinta, diresapi cinta dan bertujuan mengembangkan cinta itu sendiri dalam kehidupan perkawinan suami istri.


[2] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Perselingkuhan, diaskes 10 November 2014
[3] Paskalis Lina, SVD, Moral Pribadi (ms), STFK Ledalero, 2010.
[4] Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi  (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 300-301.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 215-216.
[7] Paskalis Lina, SVD, op. cit.,
[8] Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. (Yogyakarta: Kanisius. 2009), pp. 56-57.
[9] Dr. C. Maas SVD, Teologi Moral Perkawinan, (STFK Ledalero, 1997), hlm. 78
[10] Paskalis Lina, SVD, Teologi Moral Pribadi (ms), STFK Ledalero, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar