KISAH KU

Jumat, 05 Desember 2014

TUGAS ESKATOLOGI



KEPERCAYAAN SUANGGI ("MENAK'A") DALAM MASYARAKAT ADONARA
                                                  (VERDINANDES TUAN SABON)


Mendengar kata suanggi saja, setiap orang pasti akan merasa cemas bahkan takut. Apalagi bagi orang  yang pernah mengalami kejadian yang berkaitan erat dengan suanggi. Semua masyarakat rasanya tidak ada yang tidak percaya akan hal yang satu itu. Di berbagai wilayah sebuatan untuk suanggi berbeda satu sama lain. Kepercayaan masyarakat akan adanya suanggi ini lahir sejak purba kala hingga dengan saat ini.

Dalam suatu masyarakat kepercayaan akan Suanggi secara sederhana dipahami sebagai sebuah ilmu hitam yang dipelajari manusia. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam mempelajari jenis ilmu hitam ini yakni manusia ingin memiliki kekuatan melebihi manusia lainnya.  Selain itu, fungsi pengunaan ilmu hitam ini dengan alasan mendasar bahwa orang ingin  membalas iri dengki, dendam dan rasa tidak puas terhadap pribadi tertentu yang tak dapat dibalas secara nyata atau dengan fisik.

Secara kodrat manusia selau tidak percaya akan takdir dan tidak sanggup menerima kenyataan hidupnya, tidak sanggup menerima realita yang ada di depan matanya, sehingga dari situlah manusia mulai mencari jalan lain untuk memperoleh satu kekuatan baru dengan jalan mepelajari dan mempraktekkan ilmu-ilmu hitam dalam satu masyarakat.

KEPERCAYAAN SUANGGI ("MENAK'A") DALAM MASYARAKAT ADONARA.
 Nama Suanggi dalam Masyarakat Adonara
            Dalam masyarakat Adonara pada umumnya, kepercayaan akan adanya suanggi sudah ada sejak nenek moyang atau para leluhur yang pertama kali mendiami wilayah Adonara. Masyarakat Adonara memiliki sebutan yang khas untuk suanggi yang dapat membedakan penamaan atas suanggi dari daerah-daerah yang lain. Kata Suanggi dalam bahasa Lamaholot terkhususnya Adonara disebut sebagai “MENAK’A”.[1]

  Asal Usul Suanggi dalam Masyarakat Adonara

Seperti yang telah dituturkan di atas bahwa suanggi itu ada dalam masyarakat Adonara. Pada zaman dahulu suanggi (“menak’a”), sangatlah berguna bagi masyarakat. Tanpa mereka, sebuah desa atau kampung akan goyah dan rapuh, dan mudh mendapat masalah. Dalam istilah atau bahasa Lamaholot disebut, “rae take, lewotana mege hala, lewotana mege heri, karna rae”.[2]
Dalam system social masyarakat Adonara  ada tujuh (7) struktur atau lapisan dalam sebuah masyarkt yang disebut dalam bahasa adat Lamaholot “eken matan pito” (posisi ke tujuh). Menurut sejarah, sebelum genrasi (masyarakat) ada, terjadi perang tanding antar kampong. Dalam situasi inilah tugas dari suanggi (“menak’a”), sebagai alat pembawa informasi, atau mata-mata (detektiv), menak’a inilah orang pertama yang menghadapi serangan dari luar, ataupun sebagai pemberi informsi dari luar untuk masyarakat di kampungnya agar selalu siaga, sebab musuh hendak menyerang kampung. Selain itu juga suanggi (menak'a/lewo tanah kutun ketumha) juga berfungsi sebagai "alarm" bagi masyarakat setempat (“ribuh-ratuh”) di suatu kampung (Lewo). Artinya bahwa alaram itu sebagai tanda bagi masyarakat setempat jika pada malam hari si suanggi datang dan bersuara. Itu merupakan sebuah suruhan atau tanda untuk mengingatkan orang akan sesuatu yang mungkin akan terjadi. Tanda itu selalu dipandang dan dimengerti sebagai sesuatu yang baik dan bukan menakutkan[3].
Dewasa inilah masyarakat mencap bahwa suanggi “menak’a” itu sangat berbahaya dalam satu tatanan social masyarakat. Istilah/kata "menak'a" menimbulkan stigma yang negatif bagi masyarakat. Stigma ini muncul ketika apa yang mereka miliki itu disalahgunakan untuk menyusahkan orang lain. Kemudian Stigma itupun semakin sulit dibendung, dan terus merasuki pikiran dan otak kerja masyarakat di kmpung, sebab realitas membenarkan bahwa  suanggi (“menak'a”) menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan meresahkan situasi social.
Latar belakang timbul atau munculnya Suanggi (“menak’a”) dalam satu tatanana social masyarakat lebih banyak disebabkan oleh adanya rasa iri hati kepada sesama di sekitarnya. Lebih dari orang yang dicap sebagai suanggi yang telah mempelajari ilmu hitam tersebut hendak mencoba kekuatan ilmunya dengan objek sasarannya adalah pribadi tertentu. Rasa iri hati meliputi rasa dendam dengan orang lain, merasa tidak puas akan sesuatu yang dibuat atau diperoleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari dan lain sebagainya. Karena itu orang mulai mempelajari ilmu hitam untuk menambah kekuatan baru dalam dirinya dan kembali melawan orang yang dianggap sebagai musuhnya.
Dalam masyarakat Adonara ada banyak sekali tuduhan terhadap orang sebagai suanggi/menak’a. sehingga banyak pula yang menjadi korban dari suanggi itu. Hingga dengan saat ini, banyak orang yang merasa bahwa usaha-usaha dalam keluaraga itu tidak berhasil dan selalu ada halangan, ataupun banyak orang yang sakit tetapi tidak dapat disembuhkan secara medis, disinilah mulai muncul stigma bahwa suanggilah yang bekerja. Ada iri hati dari orang-orang tertentu. Di desa saya desa Nimun Danibao kecamatan Adonara Barat pernah terjadi satu peristiwa besar akibat dari tuduhan orang akan suanggi kepada pribadi tertentu.

Salah satu contoh yang saya angkat di sini adalah berdasarkan harian flores pos tertanggal Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).
TUDUHAN SUANGGI KEMBALI MAKAN KORBAN.[4]
Kali ini terjadi di Adonara, Kabupaten Flores Timur. Dua rumah hancur dirusak massa. Penghuni yang dituduh suanggi tinggalkan Adonara.
Korban tuduhan suanggi adalah Dominggus Libu Kleden (66) dan Kamilus Ketan Lier Kleden, warga RT 6/RW 12, Dusun Watodei, Kecamatan Adonara Barat. Rumah keduanya dirusak massa hingga rata tanah pada Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).  Warga Dusun Watodei menuding korban sebagai suanggi yang menyebabkan anak mereka meninggal dunia. Karena itu mereka membakar dan mengusir korban yang sudah bermukim puluhan tahun di desa tersebut. Dominggus Libu Kleden saat ditemui di rumah keluarganya di Kelurahan Lewerang, Kecamatan Larantuka, Selasa (4/1/2011),  menuturkan kronologis kejadian itu. Menurut dia, pada Rabu (29/12/2010), menantunya Florentina Perada yang juga kader posyandu  diminta salah satu keluarga di desa itu untuk  menyembuhkan seorang balita menggunakan jampi-jampi. Dia melarang karena menantunya bukan dukun. Namun keluarga itu terus memaksa untuk menyembuhkan balita itu. Sehari kemudian, balita yang diduga menderita gizi buruk tersebut meninggal dunia. Karena balita itu meninggal, Kamis (30/12/2010), beberapa anggota keluarga balita itu langsung datang ke rumah Keleden dan marah-marah. "Mereka mengatakan kami menggunakan ilmu hitam sehingga anak mereka meninggal.
Berdasarkan kasus tersebut dapat saya simpulkan bahwa dalam masyarakat Adonara  ada kenyataan praktek ilmu hitam yang terwujud dalam diri suanggi serta adanya korban atau penderita yang disebabkan oleh perbuatan suanggi.



III.             AJARAN IMAN KRISTEN TENTANG SUANGGI
Dalam ajaran iman Kristen terkhususnya dalam terang Kitab Suci tidak dijelaskan akan adanya suanggi dalam system keprcayaan Kristen. Secara umum umat Kristen mengakui adanya suanggi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi wujud nyata akan suanggi itu tidak dapat dibuktikan secara kasat mata. Dalam Kitab Suci kata sunggi itu sendiri tidak ditemukan secara pasti. Kitab Suci hanya mengatakan bahwa adanya roh-roh jahat yang selalu menggerogoti hati manusia. Roh jahat yang dikenal dalam Kitab Suci biasa disebut dengan nama Belzebul atau juga Iblis. Banyak teks Kitab Suci yang menjelaskan adanya roh-roh jahat itu seperti dalam kisah Yesus dicobai oleh iblis di padang gurung (Mat. 4:1-11, Mark. 1:12-13, Luk. 4:1-13). Yesus dan Beelzebul (Mat. 12: 22-37, Mark. 3:20-30, Luk. 11: 14-23, 6: 43-45), Kisah tentang “Kembalinya Roh Jahat” (Mat. 12: 43-26, Luk. 11: 24-26)



[1] Markus Sabon, Ketua Suku Sabon, Wawancara lewat telefon, 08 November 2014.
[2]Niko Lamatokan, Diskusi tentang Suanggi Dalam Masyarakat Adonara (ONLINE), (https://www.facebook.com/groups/pemudaadonarabangkit, diakses 10 November 2014).
[3] Ibid.
[4] http://kupang.tribunnews.com/2011/01/05/suanggi-kembali-makan-korban

PAPER MORAL PRIBADI

PERSELINGKUAHAN SEBAGAI  AKTUS  PENCEMARAN  KEMURNIAN PERKAWINAN KRISTIANI
(Perselingkuhan Kacamata Penilaian Moral Kristiani)
"VERDINANDES TUAN SABON"
I.                   PENDAHULUAN
Perkembangan pesat di zaman ini turut memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan manusia. Kemajuan yang pesat dalam pelbagai bidang kehidupan perlu mendapat apresiasi yang tinggi dari kita, tetapi di sisi lain dari kemajuan itu ada juga membawa aneka persoalan dalam kehidupan manusia. Semakin marak dan kompleksnya permasalahan moral dalam kehidupan sosial termasuk di dalamnya persoalan mengenai perselingkuhan yang merupakan bagian dari sebuah pelecehan terhadap kemurnian perkawinan.
Ketika kita sedang berjuang untuk menjadi makhluk yang semakin manusiawi, muncullah berbagai kasus yang menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dalam tatanan kehidupan manusia. Memang dewasa ini tema perselingkuhan  sering kita dengar dan bicarakan di mana-mana. Media masa dan surat kabar lainnya menjadi sarana utama yang membahas kasus perselingkuhan ini.
Harian Floresa.com  telah memuat warta tentang sebuah kasus yang tengah terjadi dalam kehidupan harian kita. Isi ringkas dari kasus tersebut adalah sebagai berikut (Borong, Floresa.co – Kepala Desa (Kades) Bea Waek, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur diketahui menghamili istri orang. Kades nakal berinisial YR ini, sebelumnya melakukan yang sama pada 2012 dan 2013 lalu). Persoalan ini  bukan mustahil terjadi tetapi telah nyata di mata kita dan masih banyak persoalan yang terselubung dan menyelubungkan diri. Persoalan ini pun seakan tak berujung. Penilaian terhadap persoalan tersebut tidak dapat dibangun begitu saja, terpisah dari sudut pandang tertentu , karena kasus perselingkuhan  bertalian dengan identitas sebuah perkawinan Kristiani, maka membaca kasus tersebut dari perspektif moral perkawinan Kristiani  adalah salah satu alternatif yang paling mungkin dan bisa ditempuh.

Selain merupakan makhluk seksual dan sosial, manusia juga adalah makhluk beriman dan bermoral. Dalam diri setiap manusia bercokol kerinduan yang dalam akan realitas tertinggi. Ada dambaan metafisis terhadap Yang “Tremendum et fascinans” (menggemparkan dan menarik) yang coba difasilitasi agama-agama. Setiap agama coba berbicara tentang siapa manusia itu, dari mana ia berasal dan ke mana muara kelana hidupnya serta bagaimana semestinya ia menghayati hidupnya sebagai makhluk ciptaan. Dalam agama Katolik, manusia tak lain adalah imago Dei (bdk. Kej 1:27). Manusia adalah ciptaan yang telah didandani Allah dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam setiap dimensi dirinya. Dan manusia bertanggungjawab atas dandanan Allah itu. Namun, Sang Pencipta tak lupa melengkapi manusia dengan hasrat akan kebebasan dan kemampuan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Terhadapnya manusia menjadi subjek  dan objek moral.
Demi menjaga keseimbangan penilaian terhadap masalah tersebut, dalam tulisan ini saya coba mengangkatnya dari perspektif moral perkawinan untuk diteropong dengan kaca mata moral Kristiani
II.                MELIHAT PERSOALAN PERSELINGKUHAN
Semenjak jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi sangat sulit mempertahankan kesetiaan. Maka, tidak ada satu pun pernikahan di bumi ini yang kebal terhadap perselingkuhan. Berbicara tentang perselingkuhan, kita selalu saja sampai pada sebuah pertanyaan yang mendasar. Mengapa orang terjatuh dalam perselingkuhan? Ada banyak pembenaran. Tapi intinya satu: ketidakmampuan untuk mensyukuri apa yang dimiliki sehingga merasa ada yang kurang dalam perkawinan mereka. Karena merasa ada yang kurang atau berlubang, maka mereka selalu berusaha untuk memenuhinya atau menambalnya. Dan cara untuk mengisi kekosongan tersebuat adalah mencari pihak dari luar, dari orang ketiga, dari wanita/pria idaman lain.[1]
Perselingkuhan merupakan hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam perkawinan.[2] Perselingkuhan bisa juga disebut sebagai berzinah ketika seorang suami atau istri melanggar janji perkawinan yang telah mereka ucapkan di hadapan Tuhan untuk saling setia satu sama lain dalam suka dan duka, dalam untug dan malang. Janji itu dilanggar dengan melakukan tindakan persetubuhan, yang artinya pemberian tubuh dan diri pribadi yang total bukan lagi kepada pasangan resminya, melainkan pada pihak ketiga di luar ikatan perkawinan itu sendiri yang tak terpisahkan dan tak terceraikan.[3]
Perselingkuhan selalu saja dikaitan dengan perzinaan. Perzinaan merupakan hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, di mana paling kurang satu dari mereka telah menikah.[4] Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru mengecam dosa perselingkuhan dengan kata-kata yang sangat pedas, dalam dekalog Allah melarang umat-Nya: ”Janganlah berzina, jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya” (bdk. Kel 20: 17). Bagi Paulus perzinaan adalah satu dosa yang memisahkan pelaku dari Kerajaan Allah (1Kor. 6:9; juga Ibr. 13:4)[5]
Kasus perselingkuhan yang disajikan dalam Harian Floresa.com  merupakan sebuah kasus pelanggaran terhadap ikatan janji suci perkawinan antara pasangan suami istri yang telah menikah. Artinya bahwa sang suami (Kepala Desa) telah  menodahi atau mencemari perkawinan dengan sang istrinya. Pada hakekatnya, kesetian itu sendiri adalah sebuah kebajikan yang membuat pribadi teguh memegang kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapan yang sah, ciri terpenting dari kesetian adalah bahwa seorang pribadi dapat diandalkan dan dipercayai dalam perkataan dan tindakan.[6] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suami dalam kasus perselingkuhan tersebut telah mebuat skandal besar dalam rumah tangganya. Kesetian janji nikah yang telah terpatri dalam hidup mereka sebagai suami istri yang sah telah kehilangan kemurnian dan martabatnya di hadapan Allah dan sesama.

III.             Penilaian terhadap Peselingkuhan dalam Kacamata Etika Kekristenan
Dalam bagian ini kita coba melihat persoalan perselingkuhan dalam kasus tersebut dalam kacamata etika kekristenan, tentang apa saja pertimbangan-pertimbangan moral kekristenan mengenai persoalan perselingkuhan ini dalam kehidupan dan perkembangan moral anggota gereja terutama sebagai tuntunan bagi keluarga Kristen dewasa ini
3.1 Bertentangan dengan Perjanjian Cinta
Perselingkuhan pada dasarnya bertentangan dengan perjanjian cinta yang dihayati oleh gereja. Kita dapat mengatakan bahwa secara objektif perselingkuhan merupakan suatu bentuk penyimpangan serius yang sungguh bertentangan dengan pandangan manusiawi dan kristiani tentang cinta dan hakikat perkawinan Kristiani yang sesungguhnya. Sebab dengan adanya perselingkuhan seorang suami/istri membangun hubungan seksual dengan orang lain
Suatu perjanjian cinta antara kedua insan yang saling mencintai satu sama lain, memberi cinta dari dalam dirinya kepada pasangannya itu dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab atas pemberian cinta itu. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan perselingkuhan itu sendiri yang menjadikan orang atau pribadi untuk bertindak dan bersikap egosentris, cinta pada dirinya sendiri dan tidak mencintai dan membutuhkan pilihan hatinya, sehingga membuatnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar janji perkawinannya.
Katekismus Gereja Katolik juga berbicara keras tentang persoalan perselingkuhan dalam kehidupan Kristiani. Katekismus menilai bahwa perselingkuhan sebagai suatu ketidaksetiaan antara suami istri dan sebagai satu praktek ketidakadilan dengan merujuk selalu pada ajaran Kitab Suci. [7] Kasus perselingkuhan yang tengah terjadi itu dapat dinilai dari segi Etika Kristiani bahwa salah satu pasangan yakni suami telah menodai perjanjian cinta mereka. Ia juga menodai hak pribadi dari pihak lain yang menikah dengannya an telah merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian yang adalah dasar bagi cinta dan persekutuan hidup keluarganya.


3.2    Melawan Kodrat yang Sesungguhnya
Tubuh manusia itu nupsial, karena dia tercipta untuk mengasihi, dan untuk sebuah relasi yang tetap. Dia bukannya tercipta hanya untuk kesenangan sensual, karena sesungguhnya ada yang lebih dari sekedar sensual sebab tubuh manusia bersifat simbolis dan semua yang dilakukan juga membawa dimensi spiritual sekaligus. Dalam dan melalui tubuh seseorang mengungkapkan cinta – realitas spiritualnya yang terdalam. Sehingga oleh karena tubuh manusia itu nupsial maka ketika seorang suami dan istri melakukan aktifitas seksual, mereka juga berkomunikasi tentang aspek yang kelihatan dan yang tak kelihatan dari tubuh mereka masing-masing.[8] Sedangkan sebuah perselingkuhan tidaklah demikian. Perselingkuhan cuma menampilkan manusia yang hanya mengikuti naluri seks belaka yang disalurkan secara tidak sehat tanpa bisa menampilkan bahasa spiritual. Perselingkuhan tidak menampilkan bahasa cinta melainkan egoisme belaka saja. Bahasa cinta hanya dapat terjadi antara pribadi dengan pribadi, antara suami dan isteri yang dapat mengungkapkannya baik secara sensual dan spiritual.
Hidup bersama sebagai suami istri pada dasarnya merupakan sebuah tuntutan kodrat manusia. Hal ini merupakan kenyataan spiritual. Setiap manusia hanya mungkin dapat mewujudkan kepenuhan pribadinya dalam relasi yang intim dengan pribadi yang lain. Dalam aspek ini manusia membutuhkan yang lain seorang partner, seorang “engkau”, ke mana ia akan mengarahkan dirinya, ke mana ia akan member cinta, da sebaliknya juga, dari mana ia dapat memperoleh cinta. Di sini termasuk kebutuhan untuk mencintai dan dicintai secara pribadi, dan membentuk hidup perkawinan.[9] Perselingkuhan pada dasarnya melawan kodrat perkawinan manusia. Artinya bahwa perselingkuhan itu terjadi karena adanya cinta diri dan tidak mencintai pasangan hidupnya. Manusia membutukan yang lain dan menomor duakan pasangannya. Ia mencari kepuasan seksual di luar hidup perkawinannya dengan melakuakan persinaan dengan orang lain yang bukan pasangan hidupnya.

.
3.3    Peselingkuhan adalah dosa[10]
Kita dapat menyebut beberapa alasan mengapa perselingkuhan atau perzinahan adalah dosa karena perbuatan ini melanggar kesucian ikatan perkawinan dan makna luhur hubungan seksual antara seorang pria dan wanita. Perselingkuhan dikatakan dosa, karena:
Ø    Merupakan perbuatan ketidak-setiaan. Perkawinan Katolik dimaksudkan Allah untuk menjadi tanda yang mencerminkan kasih setia Allah kepada umat-Nya (selanjutnya tentang ini, klik di sini); sehingga pelanggaran terhadap kasih setia ini disamakan oleh Tuhan sebagai tindakan ‘berhala’, seperti ketika pada zaman Perjanjian Lama umat Israel berkali- kali melanggar perjanjian dengan Allah dengan menyembah dewa/ allah-allah lain. “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah…” (Kol 3:5-6)
Ø    Merupakan perbuatan yang melanggar kesucian dan keluhuran hubungan seksual suami istri, yang harusnya melambangkan kesatuan antara Kristus dan mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya (jemaat-Nya).Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32, lih. Mat 19:5-6)
Ø    Merupakan perbuatan ketidak- adilan; sebab keadilan mensyaratkan pembagian sesuatu kepada pihak- pihak yang bersangkutan sesuai dengan haknya. Perzinahan melawan prinsip keadilan ini, sebab hubungan dilakukan oleh pasangan yang tidak berhak melakukannya. Selanjutnya, efeknyapun dapat membawa kehancuran dalam keluarga, yaitu pasangan yang dikhianati, dan anak- anaknya. Tidak ada seorangpun dari kita yang ingin dikhianati, sebab itu bertentangan dengan prinsip kasih dan keadilan, yang mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Mat 7:12)



IV.    Akhir Kata
            Peselingkuhan dalam keluarga Kristen mengalami perkembangan seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Perselingkuhan pada hakikatnya adalah sebuah tindakan melawan kodrat perkawinan manusia dalam kehidupan sosal dan menggereja. Dampak dari perselingkuhan itu sendiri adalah runtuhnya/hilangnya keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Hilangnya kepercayaan dan janji suci yang telah diikrarkan oleh pasangan suami istri.
            Dasar dan jaminan utama bagi kelangsungan hidup bersama sebagai suami istri adalah cinta. Setiap tindakan, pergaulan, hak dan kewajiban dalam hidup perkawinan haruslah merupakan cetusan cinta, diresapi cinta dan bertujuan mengembangkan cinta itu sendiri dalam kehidupan perkawinan suami istri.


[2] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Perselingkuhan, diaskes 10 November 2014
[3] Paskalis Lina, SVD, Moral Pribadi (ms), STFK Ledalero, 2010.
[4] Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi  (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 300-301.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 215-216.
[7] Paskalis Lina, SVD, op. cit.,
[8] Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. (Yogyakarta: Kanisius. 2009), pp. 56-57.
[9] Dr. C. Maas SVD, Teologi Moral Perkawinan, (STFK Ledalero, 1997), hlm. 78
[10] Paskalis Lina, SVD, Teologi Moral Pribadi (ms), STFK Ledalero, 2014.