KEPERCAYAAN SUANGGI ("MENAK'A") DALAM MASYARAKAT ADONARA
(VERDINANDES TUAN SABON)
Mendengar
kata suanggi saja, setiap orang pasti
akan merasa cemas bahkan takut. Apalagi bagi orang yang pernah mengalami kejadian yang berkaitan
erat dengan suanggi. Semua masyarakat rasanya tidak ada yang tidak percaya akan
hal yang satu itu. Di berbagai wilayah sebuatan untuk suanggi berbeda satu sama
lain. Kepercayaan masyarakat akan adanya suanggi ini lahir sejak purba kala
hingga dengan saat ini.
Dalam
suatu masyarakat kepercayaan akan Suanggi secara sederhana dipahami sebagai
sebuah ilmu hitam yang dipelajari manusia. Tujuan utama yang hendak dicapai
dalam mempelajari jenis ilmu hitam ini yakni manusia ingin memiliki kekuatan
melebihi manusia lainnya. Selain itu,
fungsi pengunaan ilmu hitam ini dengan alasan mendasar bahwa orang ingin membalas iri dengki, dendam dan rasa tidak
puas terhadap pribadi tertentu yang tak dapat dibalas secara nyata atau dengan
fisik.
Secara
kodrat manusia selau tidak percaya akan takdir dan tidak sanggup menerima
kenyataan hidupnya, tidak sanggup menerima realita yang ada di depan matanya, sehingga
dari situlah manusia mulai mencari jalan lain untuk memperoleh satu kekuatan
baru dengan jalan mepelajari dan mempraktekkan ilmu-ilmu hitam dalam satu
masyarakat.
Nama Suanggi dalam Masyarakat Adonara
Dalam
masyarakat Adonara pada umumnya, kepercayaan akan adanya suanggi sudah ada sejak nenek moyang atau para leluhur yang pertama
kali mendiami wilayah Adonara. Masyarakat Adonara memiliki sebutan yang khas
untuk suanggi yang dapat membedakan penamaan atas suanggi dari daerah-daerah
yang lain. Kata Suanggi dalam bahasa Lamaholot terkhususnya Adonara disebut
sebagai “MENAK’A”.[1]
Asal
Usul Suanggi dalam Masyarakat Adonara
Seperti yang telah dituturkan di atas
bahwa suanggi itu ada dalam masyarakat Adonara. Pada
zaman dahulu suanggi (“menak’a”),
sangatlah berguna bagi masyarakat. Tanpa mereka, sebuah desa atau kampung akan
goyah dan rapuh, dan mudh mendapat masalah. Dalam istilah atau bahasa Lamaholot
disebut, “rae take, lewotana mege hala,
lewotana mege heri, karna rae”.[2]
Dalam system social masyarakat
Adonara ada tujuh (7) struktur atau lapisan dalam sebuah masyarkt yang
disebut dalam bahasa adat Lamaholot “eken
matan pito” (posisi ke tujuh). Menurut sejarah, sebelum genrasi (masyarakat)
ada, terjadi perang tanding antar kampong. Dalam situasi inilah tugas dari
suanggi (“menak’a”), sebagai alat
pembawa informasi, atau mata-mata (detektiv), menak’a inilah orang pertama yang menghadapi serangan dari luar,
ataupun sebagai pemberi informsi dari luar untuk masyarakat di kampungnya agar
selalu siaga, sebab musuh hendak menyerang kampung. Selain itu juga suanggi
(menak'a/lewo tanah kutun ketumha) juga berfungsi sebagai "alarm"
bagi masyarakat setempat (“ribuh-ratuh”)
di suatu kampung (Lewo). Artinya
bahwa alaram itu sebagai tanda bagi masyarakat setempat jika pada malam hari si
suanggi datang dan bersuara. Itu merupakan sebuah suruhan atau tanda untuk
mengingatkan orang akan sesuatu yang mungkin akan terjadi. Tanda itu selalu
dipandang dan dimengerti sebagai sesuatu yang baik dan bukan menakutkan[3].
Dewasa inilah
masyarakat mencap bahwa suanggi “menak’a”
itu sangat berbahaya dalam satu tatanan social masyarakat. Istilah/kata
"menak'a" menimbulkan stigma yang negatif bagi masyarakat. Stigma ini
muncul ketika apa yang mereka miliki itu disalahgunakan untuk menyusahkan orang
lain. Kemudian Stigma itupun semakin sulit dibendung, dan terus merasuki
pikiran dan otak kerja masyarakat di kmpung, sebab realitas membenarkan
bahwa suanggi (“menak'a”) menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat
dan meresahkan situasi social.
Latar belakang timbul atau munculnya
Suanggi (“menak’a”) dalam satu tatanana social masyarakat lebih banyak disebabkan
oleh adanya rasa iri hati kepada sesama di sekitarnya. Lebih dari orang yang
dicap sebagai suanggi yang telah mempelajari ilmu hitam tersebut hendak mencoba
kekuatan ilmunya dengan objek sasarannya adalah pribadi tertentu. Rasa iri hati
meliputi rasa dendam dengan orang lain, merasa tidak puas akan sesuatu yang
dibuat atau diperoleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari dan lain
sebagainya. Karena itu orang mulai mempelajari ilmu hitam untuk menambah
kekuatan baru dalam dirinya dan kembali melawan orang yang dianggap sebagai
musuhnya.
Dalam masyarakat Adonara ada banyak
sekali tuduhan terhadap orang sebagai suanggi/menak’a. sehingga banyak pula
yang menjadi korban dari suanggi itu. Hingga dengan saat ini, banyak orang yang
merasa bahwa usaha-usaha dalam keluaraga itu tidak berhasil dan selalu ada
halangan, ataupun banyak orang yang sakit tetapi tidak dapat disembuhkan secara
medis, disinilah mulai muncul stigma bahwa suanggilah yang bekerja. Ada iri
hati dari orang-orang tertentu. Di desa saya desa Nimun Danibao kecamatan
Adonara Barat pernah terjadi satu peristiwa besar akibat dari tuduhan orang
akan suanggi kepada pribadi tertentu.
Salah satu contoh yang saya angkat di
sini adalah berdasarkan harian flores pos tertanggal Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011).
TUDUHAN SUANGGI KEMBALI MAKAN KORBAN.[4]
Kali ini terjadi di
Adonara, Kabupaten Flores Timur. Dua rumah hancur dirusak massa. Penghuni yang
dituduh suanggi tinggalkan Adonara.
Korban tuduhan suanggi adalah Dominggus Libu Kleden (66) dan Kamilus Ketan Lier Kleden, warga RT 6/RW 12, Dusun Watodei, Kecamatan Adonara Barat. Rumah keduanya dirusak massa hingga rata tanah pada Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011). Warga Dusun Watodei menuding korban sebagai suanggi yang menyebabkan anak mereka meninggal dunia. Karena itu mereka membakar dan mengusir korban yang sudah bermukim puluhan tahun di desa tersebut. Dominggus Libu Kleden saat ditemui di rumah keluarganya di Kelurahan Lewerang, Kecamatan Larantuka, Selasa (4/1/2011), menuturkan kronologis kejadian itu. Menurut dia, pada Rabu (29/12/2010), menantunya Florentina Perada yang juga kader posyandu diminta salah satu keluarga di desa itu untuk menyembuhkan seorang balita menggunakan jampi-jampi. Dia melarang karena menantunya bukan dukun. Namun keluarga itu terus memaksa untuk menyembuhkan balita itu. Sehari kemudian, balita yang diduga menderita gizi buruk tersebut meninggal dunia. Karena balita itu meninggal, Kamis (30/12/2010), beberapa anggota keluarga balita itu langsung datang ke rumah Keleden dan marah-marah. "Mereka mengatakan kami menggunakan ilmu hitam sehingga anak mereka meninggal.
Korban tuduhan suanggi adalah Dominggus Libu Kleden (66) dan Kamilus Ketan Lier Kleden, warga RT 6/RW 12, Dusun Watodei, Kecamatan Adonara Barat. Rumah keduanya dirusak massa hingga rata tanah pada Jumat (31/12/2010) dan Sabtu (1/1/2011). Warga Dusun Watodei menuding korban sebagai suanggi yang menyebabkan anak mereka meninggal dunia. Karena itu mereka membakar dan mengusir korban yang sudah bermukim puluhan tahun di desa tersebut. Dominggus Libu Kleden saat ditemui di rumah keluarganya di Kelurahan Lewerang, Kecamatan Larantuka, Selasa (4/1/2011), menuturkan kronologis kejadian itu. Menurut dia, pada Rabu (29/12/2010), menantunya Florentina Perada yang juga kader posyandu diminta salah satu keluarga di desa itu untuk menyembuhkan seorang balita menggunakan jampi-jampi. Dia melarang karena menantunya bukan dukun. Namun keluarga itu terus memaksa untuk menyembuhkan balita itu. Sehari kemudian, balita yang diduga menderita gizi buruk tersebut meninggal dunia. Karena balita itu meninggal, Kamis (30/12/2010), beberapa anggota keluarga balita itu langsung datang ke rumah Keleden dan marah-marah. "Mereka mengatakan kami menggunakan ilmu hitam sehingga anak mereka meninggal.
Berdasarkan kasus
tersebut dapat saya simpulkan bahwa dalam masyarakat Adonara ada kenyataan praktek ilmu hitam yang
terwujud dalam diri suanggi serta adanya korban atau penderita yang disebabkan
oleh perbuatan suanggi.
III.
AJARAN IMAN KRISTEN TENTANG SUANGGI
Dalam ajaran iman Kristen
terkhususnya dalam terang Kitab Suci tidak dijelaskan akan adanya suanggi dalam
system keprcayaan Kristen. Secara umum umat Kristen mengakui adanya suanggi
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi wujud nyata akan suanggi itu tidak dapat
dibuktikan secara kasat mata. Dalam Kitab Suci kata sunggi itu sendiri tidak ditemukan
secara pasti. Kitab Suci hanya mengatakan bahwa adanya roh-roh jahat yang
selalu menggerogoti hati manusia. Roh jahat yang dikenal dalam Kitab Suci biasa
disebut dengan nama Belzebul atau juga Iblis. Banyak teks Kitab Suci yang
menjelaskan adanya roh-roh jahat itu seperti dalam kisah Yesus dicobai oleh
iblis di padang gurung (Mat. 4:1-11, Mark. 1:12-13, Luk. 4:1-13). Yesus dan
Beelzebul (Mat. 12: 22-37, Mark. 3:20-30, Luk. 11: 14-23, 6: 43-45), Kisah
tentang “Kembalinya Roh Jahat” (Mat. 12: 43-26, Luk. 11: 24-26)
[1]
Markus Sabon, Ketua Suku Sabon, Wawancara lewat telefon, 08 November 2014.
[2]Niko
Lamatokan, Diskusi tentang Suanggi Dalam Masyarakat
Adonara (ONLINE), (https://www.facebook.com/groups/pemudaadonarabangkit, diakses 10 November 2014).
[3] Ibid.
[4] http://kupang.tribunnews.com/2011/01/05/suanggi-kembali-makan-korban